Indonesia Butuh GBHN: Refleksi Menuju 20 Tahun Reformasi

1325

JURNAL SUMBAR — Kekhawatiran saya sebagai anak muda Indonesia melihat hampir 20 tahun reformasi adalah soal arah pembangunan yang tidak dikonsep dan terstruktur dengan baik… Selepas 98, energi bangsa ini lebih banyak dihabiskan oleh pertarungan antara elite politik.. Tragedi Gusdur, Megawati yang ngambek karena dikalahkan SBY di Pilpres 2004, Zaman SBY yang penuh dengan kasus korupsi, Bapak Reformasi yang merasa dizholimi oleh Rezim Jokowi… Target-target pembangunan dibuat “seenak” dan “sekeingingnan” dari Rezim yang sedang berkuasa. Sehingga banyak kemudian proyek-proyek yang tak maching dengan rezim berikutnya dan banyak proyek-proyek yang terbengkalai karena kesulitan keuangan serta tidak dilanjutkan oleh penguasa baru…. Tiap Rezim ingin punya trademark sendiri agar dikenang oleh rakyat… Tetapi jarang yang berpikir jangka Panjang untuk INDONESIA… INDONESIA YANG AKAN DIWARISI SAMPAI HARI KIAMAT NANTI… Dan saya melihat kita butuh GBHN untuk perencanaan jangka panjang untuk Indonesia… Letakkan itu sebagai panduan kerja jangka panjang.. Meski Rezim Berganti panduan pembangunan tetap mengacu pada GBHN itu… Dan pilihlah intelektual dan praktisi terbaik untuk mengkonsep panduan pembangunan 25 tahun ini yang lepas dari kepentingan politik praktis, tetapi sudah memikirkan masa depan Indonesia… Dan MPR tinggal menetapkan untuk dilaksanakan oleh siapapun Presiden terpilih dalam pesta demokrasi 5 tahunan…

10 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia, Pemerintah SBY diliputi oleh berbagai kasus korupsi. Memang tidak sempat menjerat dan menyebut nama SBY, tetapi orang-orang dekat SBY dan Partai Demokrat dibuat babak belur oleh KPK. Dari kasus Century yang dikuliti habis oleh Pansus DPR yang rapat selama berbulan-bulan (tetapi kelanjutan proses hukumnya mati suri hingga sekarang), proyek Hambalang, sampai yang mencuat belakangan kasus mega proyek E-KTP yang ditenggarai merugikan negara lebih dari 2,3 triliyun rupiah.

Baru 2,5 tahun menjadi Presiden, kroni-kroni Pak Jokowi sudah mulai diseret oleh KPK karena kasus suap dan korupsi. Sebut saja Menteri Hukum dan HAM Kabinet Kerja Yasonna Laoly di proyek E-KTP dan Ipar Jokowi yang tersandung kasus penggelapan pajak.

Semakin lama sebuah rezim berkuasa, maka semakin banyak kemungkinan praktek-praktek korupsi dilakukan oleh lingkaran penguasa. Itulah yang terjadi dengan Pak Harto. Terlalu lama berkuasa, gurita kekuasaan Pak Harto sudah jauh di ambang wajar dan orang-orang Pak Harto tergiring pada zona paling nyaman dan pengamanan tingkat tinggi karena rasa-rasanya Pak Harto baru berhenti menjadi Presiden Republik Indonesia karena faktor tutup usia saja sehingga mereka tak merasa takut dan ragu-ragu lagi melakukan kegiatan-kegiatan perampokan uang negara.

Situasi semakin kronis ketika para cendikiawan dan ulama yang diharapkan sebagai pemberi nasehat, pengingat penguasa dari “jalan sesat” dan menjadi golongan pembela keadilan yang aktif menyuarakan kepentingan rakyat sudah ditarik ke dalam lingkaran kekuasaan. Skemanya adalah lewat tawaran dan penempatan di posisi-posisi menggiurkan. Dari jabatan komisaris BUMN, duta besar sampai ke posisi menteri. Benteng terakhir “kekritisan” lenyap dan masuklah bangsa ini kepada periode “mari kita nikmati masa-masa berkuasa”.

Rangkaian perjalanan waktu telah membuat sebuah rezim untuk membuka aib rezim sebelumnya. Berbagai kebusukan dan penyelewengan yang sekian tahun ditutupi kemudian terendus, dibuka oleh rezim berikutnya.

Saya lebih cenderung kepada proses politik setiap 5 tahun Indonesia punya Presiden baru. Agar Presiden dan kroni-kroninya bisa selalu waspada dan mawas diri tidak tergoda melakukan berbagai praktik-praktik koruptif dan merugikan negara yang sangat mudah dibuka kalau rezim diganti secara cepat dalam periode 5 tahun.

Ketika beberapa partai sudah mulai ancang-ancang menyiapkan periode kedua buat Jokowi dan kontrak politik dengan calon Gubernur sudah ditarik pada penyiapan suksesi Pilpres 2019, sebenarnya secara tidak langsung ada mekanisme pembentukan dan penguatan tirani kekuasaan. Ketika mereka tetap menjadi penguasa 5 tahun ke depan otomatis akan ada waktu yang lebih lama untuk mendapatkan berbagai fasilitas VVIP dan meraih keuntungan lewat penguasaan terhadap posisi-posisi strategis di negeri ini.

Retorika yang dibangun biasanya, masih banyak kerja-kerja yang belum selesai sehingga butuh 5 tahun lagi untuk menyelesaikan proyek-proyek mercusuar yang dulu pernah dijanjikan pada masa kampanye. Biasanya memang 5 tahun periode kedua (Konstitusi kita pasca Reformasi 98 hanya membolehkan jabatan Presiden di Indonesia diduduki maksimal hanya 2 periode oleh orang yang sama) adalah masa-masa yang tidak begitu menegangkan bagi seorang Presiden. Ia bisa dengan nyaman untuk bekerja melanjutkan apa yang sudah ia agendakan di periode pertama tanpa perlu kekhawatiran tidak disukai ataupun menjadi populis di tengah-tengah masyarakat. Tetapi di sinilah peluang-peluang penyelewengan terbuka lebar.

Sejak GBHN dihapuskan sebagai buah Reformasi 98 yang sangat fobia dengan apapun yang pernah dilakukan oleh Orde Baru, Indonesia tidak punya program pembangunan yang jelas. Berbagai pembangunan yang ada hanya didasarkan komitmen kepada janji-janji kampanye dan tawar-menawar politis ketika jabatan Presiden sudah diduduki. Bahkan menteripun terlalu sering digonta-ganti. Ada malah yang belum genap satu semester sudah dicopot.

Teori Trias Politica modern seharusnya menempatkan Presiden sebagai pejabat pelaksana pemerintahan berdasarkan sebuah garis haluan yang dibuat oleh wakil rakyat. Sesuatu yang missing selama sekian tahun pasca Reformasi. DPR seolah-olah hanya jadi tukang stempel program yang dibikin oleh pemerintah. Sehingga transaksi-transaksi politik untuk memuluskan anggaran APBN dan APBD menjadi pemandangan dominan di Gedung Senayan.

Untuk negara sebesar Indonesia yang harus dibangun dengan secara komprehensif, sistematis dan futuristik, kehadiran GBHN menjadi sebuah keniscayaan. Perlu dirumuskan program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang dalam GBHN yang paling tidak dibuat untuk proyeksi 25 tahun. Fungsinya adalah untuk memberikan arah pembangunan buat Eksekutif – entah siapapun Presidennya – pemerintah tetap berada pada jalur konstitutif melaksanakan amanat GBHN.

Lucunya sekarang, bukan malah memikiran konsep pembangunan Indonesia secara komprehensif, sistematis dan visioner, MPR kita malah sibuk menghabiskan uang negara untuk sosialisasi 4 Pilar yang sudah ditolak dan dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.

Setiap anggota DPR dan DPD yang otomatis menjadi anggota MPR didampingi oleh 5 staf ahli yang digaji oleh negara untuk membantu mereka merumuskan perundangan-perundangan dan menghasilkan produk-produk legislasi. Minimal mereka harus bergelar Master/punya degree S2. Roadshow pun sudah sering dilakukan oleh anggota DPR dan DPD ke kampus-kampus untuk bertemu dengan professor doktor yang ahli di bidang-bidang tertentu. Rasanya fasilitas, akses dan sumber daya yang mereka miliki bisa diarahkan untuk merancang sebuah guidance konstitusional kenegaraan jangka panjang yang bernama GBHN. Kalau situasi kenegaraan Indonesia dibiarkan selera musim politik, yang kita bukan pembangunan yang berkesinambungan, tetapi malah jalan di tempat, saling menyalahkan ataupun mencari-cari kesalahan rezim sebelumnya, sehingga acuan masa depan Indonesia tidak pernah jelas dan larut dari situasi bongkar pasang yang tak berkesudahan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here