Minangkabau Dalam Jati Diri Pers Nasional

Oleh: Prof. Irwan Prayitno

1198

Provinsi Sumatera Barat yang juga dikenal dengan Ranah Alam Minangkabau adalah salah satu Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera, tepatnya di bagian Tengah pesisir Barat Pulau Sumatera. Provinsi dengan singkatan SUMBAR ini berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara dibagian Utaranya serta Provinsi Bengkulu dan Provinsi Jambi di bagian Selatannya. Di sebelah Timur, Provinsi Sumatera Barat berbatasan dengan Provinsi Riau sedangkan di sebelah barat Provinsi Sumatera Barat merupakan Lautan luas yaitu Samudera Hindia. Provinsi Sumatera Barat berdiri pada tanggal 31 Juli 1958 berdasarkan Dasar Hukum UU No. 61 Tahun 1958. Ibukota Provinsi Sumatera Barat adalah Kota Padang.

Berdasarkan letak Geografis, Provinsi Sumatera Barat berada di  1° 54’ Lintang Utara dan 3° 30’ Lintang Selatan serta 98° 36’ dan – 101° 53’ Bujur Timur.  Luas wilayah Provinsi Sumatera Barat adalah 42.012,89 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 5.383.988 jiwa (sumber: BPS 2015).

Secara Administratif, Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 7 Kota. Dengan kondisi geografis dan topografisnya, wilayah Sumbar banyak mempunyai potensi yang luar biasa. Kepariwisataan, pertambangan, hasil laut dan berbagai ragam sumber daya renewable energy.

Sumatera Barat dari sisi budaya sangat unik. Kearifan lokal yang tinggi dengan adat istiadat yang berfalsafah “adat basandi syara’, syara’ bersendikan kitabullah”, membuat aroma adat dengan nafas ke-Islaman yang sangat kental pada kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Asal-usul sistem matrilineal dan merantau sampai saat ini belum dapat dijelaskan dengan bukti empiris dan hanya dapat dijawab oleh cerita-cerita mitos. Asal-usul mengapa suku Minangkabau memegang sistem matrilineal menjadi menarik untuk diketahui karena tidak banyak suku di Indonesia, bahkan di dunia, yang mempraktikkan sistem ini. Sistem matrilineal, bersama dengan kebudayaan merantau, telah mengakar dalam kebudayaan Minangkabau sejak lama dan kedua hal ini termasuk faktor dominan yang membentuk masyarakat Sumatera Barat hingga sekarang.

Berdasarkan kebudayaan matrilineal ini pula kemudian masyarakat Minangkabau memiliki satu kebudayaan lainnya, yaitu merantau. Terkadang ada yang menyalahartikan merantau dengan migrasi. Merantau dianggap sama saja dengan migrasi. Dalam kebudayaan Minangkabau terdapat perbedaan antara merantau dan bermigrasi. Apakah perbedaan itu? Migrasi dari segi sosial-ekonomi berarti perpindahan orang atau golongan bangsa secara besar-besaran menuju daerah-daerah baru. Penyebabnya bermacam-macam, yakni karena kepadatan penduduk, bencana alam dan perubahan ilmiah, tekanan ekonomi, politik, atau keagamaan (Ensiklopedia Indonesia, 1984; 2241). Rantau, secara bahasa berarti daerah pesisir. Kato mendefinisikan kata kerja rantau yakni meninggalkan kampung halaman (Kato, 2005: 4). Maka merantau berarti pergi ke daerah rantau atau ke daerah pesisir, meninggalkan kampung halaman.

Egaliter, adalah sifat khas masyarakat Minangkabau. Itu tercermin dari falsafah adat, bahwa pemimpin itu hanya “ditinggian sarantiang, dan didahulukan salangkah” (ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah). Egalitarianisme inilah yang menjadikan orang Minangkabau sangat demokratis.

Juga ada budaya Ota Lapau, atau berdiskusi di Lapau (warung), menjadi ciri khas keseharian masyarakat. Ota lapau pulalah yang menyebabkan banyak orang Minangkabau dulunya jago berdiplomasi dimana-mana. Contohnya Agus Salim, Natsir, M Yamin dan lain-lain.

Masyarakat Minangkabau telah memiliki budaya literasi sejak abad ke-12. Hal ini ditandai dengan ditemukannya aksara Minangkabau. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah merupakan salah satu literatur masyarakat Minangkabau yang pertama. Tambo Minangkabau yang ditulis dalam Bahasa Melayu, merupakan literatur Minangkabau berupa historiografi tradisional. Pada abad pertengahan, sastra Minangkabau banyak ditulis menggunakan huruf Jawi. Di masa ini, sastra Minangkabau banyak yang berupa dongeng-dongeng jenaka dan nasehat. Selain itu ada pula kitab-kitab keagamaan yang ditulis oleh ulama-ulama tarekat. Di akhir abad ke-19, cerita-cerita tradisional yang bersumber dari mulut ke mulut, seperti Cindua Mato, Anggun Nan Tongga, dan Malin Kundang mulai dibukukan.

Pada abad ke-20, sastrawan Minangkabau merupakan tokoh-tokoh utama dalam pembentukan bahasa dan sastra Indonesia. Lewat karya-karya mereka berupa novel, roman, dan puisi, sastra Indonesia mulai tumbuh dan berkembang. Sehingga novel yang beredar luas dan menjadi bahan pengajaran penting bagi pelajar di seluruh Indonesia dan Malaysia, adalah novel-novel berlatarbelakang budaya Minangkabau. Seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli dan Di Bawah LindunganKa’bah  karya Hamka, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Sitti Nurbaya  karya Marah Rusli, dan Robohnya Surau Kami  karya Ali Akbar Navis. Budaya literasi Minangkabau juga melahirkan tokoh penyair seperti  Chairil Anwar,  Taufiq Ismail dan tokoh sastra lainnya Sutan Takdir Alisjahbana.

Sebenarnya banyak yang akan disampaikan dalam tulisan ini, namun karena keterbatasan dalam berbagai hal, saya rasa cukup itu saja.

SINERGI PERS DAN PEMERINTAH DAERAH

Propinsi Sumatra Barat banyak melahirkan tokoh-tokoh pers ditingkat nasional. Malah kalau boleh dikatakan secara subjektive, Pers itu memang lahir dari perutnya Minangkabau. Tokoh-tokoh besar pencetus, penggerak dan pionir pers awalnya bermula dari putra dan putri yang lahir dari rahimnya Ranah Minangkabau. Ada Jamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, Ruhana Kuddus sebagai wartawati pertama di Indonesia yang mudah-mudahan diakui sebagai pahlawan nasional di bidang pers oleh pemerintah pusat nantinya serta banyak tokoh Minangkabau lainnya yang berperan besar terhadap tumbuh kembangnya pers di tanah air.

Sangat perlu dicatat, hampir semua pahlawan dan tokoh nasional pada zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Minangkabau adalah kaum jurnalis. Semua mereka penulis dan mereka berjuang melalui tulisan.

Peranan pers tidak bisa dipisahkan dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam teori pembangunan, pers menjadi salah satu point penting selain pemerintah, pelaku/dunia usaha, akademisi, dan komunitas. Justru itu sebagai salah satu cabang kekuasaan, pers atau media tidak hanya berfungsi sebagai penyalur opini, tetapi ada berbagai fungsi negara yang dijalankan pers. (Bagir Manan)

Fungsi pers sebagai kekuasaan antar lain media komunikasi antar negara (penyelenggara negara dengan publik), sebagai sumber gagasan: baik sebagai pencipta maupun sebagai penyalur gagasan. Sebagai cermin tata kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sarana kontrol (pengontrol maupun sebagai penyalur kontrol publik). Sebagai pendidik dan pengembangan tanggung jawab sosial serta sebagai komitmen sosial.

Sinergi pemerintah dengan pers dibangun dalam kemitraan yang sejajar. Di satu sisi pers berperan sebagai sosial kontrol pelaksanaan pembangunan, tetapi pers juga butuh informasi perkembangan pembangunan dari pemerintah, sekaligus memberikan harapan serta optimisme kepada masyarakat. Sementara di sisi pemerintah kita butuh sarana untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan pada masyarakat luas. Kita sangat mengapresiasi kritikan yang konstruktif dari pers dan kita butuh itu. Tanpa kritik yang sehat dan membangun, rasanya ibarat membawa mobil tanpa rambu lalu lintas.

Kemitraan sejajar antara pemerintah daerah dengan pers selama ini menjadi salah satu kekuatan kami, sehingga hubungan pers dengan pemerintahan di Sumatera Barat dapat berjalan dengan baik. Satu sama yang lain sama sama menghormati fungsi dan tugas masing masing. Satu sama lainnya saling membutuhkan dalam pengertian positif. Kami mengibaratkan sinergi keduanya bagaikan aur dengan tebing. Aur semacam tanaman pelindung agar tebing tidak runtuh, namun aur akan tumbang bilamana tak ada tebing tempat ia tumbuh.

Dinamika perkembangan pembangunan daerah yang begitu pesat di tengah tingginya tuntutan pelayanan publik mendorong pemerintah semakin gencar melaksanakan pembangunan di segala bidang. Di sisi lain di tubuh pers, dinamika dan perkembangannya juga tidak kalah cepatnya. Kami menyadari dinamika dinamika tersebut memunculkan berbagai tantangan tantangan baru. Salah satu yang tak luput dari perhatian kami adalah upaya Dewan Pers berikut organisasi organisasi kewartawanan untuk mendorong terwujudnya pers yang sehat: baik insan pers itu sendiri meliputi para juralis, maupun perusahaan pers nya. Dalam pengamatan kami di pemerintahan, upaya peningkatan kapasitas dan profesionalitas insan pers sangat membantu jajaran pemerintahan.

Kami menyadari juga, bahwa salah satu buah reformasi adalah dengan bermunculannya media media alternatif baru, baik cetak, elektronik maupun online. Bak cendawan tumbuh, keberadaan media media yang begitu banyak tentu memunculkan persoalan baru, terutama dari sisi bisnis. Berdasarkan UU 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pers merupakan lembaga bisnis selain sebagai sosial kontrol. Dengan peran tersebut, pers tentu membutuhkan biaya/anggaran untuk menghidupkan perusahaan pers tersebut. Pemerintah daerah sangat merasakan hal tersebut, sehingga dalam kebijakan anggaran di Kehumasan, pemerintah selalu menganggarkan dana kerjasama dengan media. Kita mendorong semua daerah Kabupaten/kota melakukan hal serupa. Nyatanya di daerah-daerah belanja Humas memang lebih banyak diserap untuk belanja media (langganan dan pariwara).

Keterbatasan anggaran pemerintah tak selaras dengan pertumbuhan perusahaan pers yang cukup pesat. Fakta ini memunculkan persoalan bahwa tidak semua media yang tertampung di anggaran pemerintah untuk bekerjasama. Maksud hati memeluk gunung tetapi apa daya tangan tak sampai. Kita ingin seluruhnya bisa tertampung dan terlayani, namun keterbatasan anggaran dan regulasi yang menyebabkan tidak semua bisa terlayani.

Selain kemitraan dengan insan pers dan perusahaan pers, jajaran pemerintahan daerah juga menganggap penting melakukan kemitraan dengan organisasi kewartawanan yang ada di Sumatera Barat seperti PWI, AJI, IJTI dan sebagainya. Organisasi kewartawanan perlu terus kita dorong agar semakin eksis dalam melakukan pembinaan terhadap anggotanya dan proaktif dalam merekrut anggota anggota baru. Harapan kita dengan eksisnya organisasi kewartawanan akan ikut mendorong terciptanya pers yang semakin sehat dan profesional.

Kami menyadari bahwa Dewan Pers mendorong peningkatan kualitas SDM kewartawanan melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW) misalnya, adalah sebuah keniscayaan bagi menuju pers yang profesional dan kompeten. Kami mendorong dan mendukung penuh Bupati dan Walikota yang memberikan dukungan moral kepada para wartawan di daerahnya masing-masing untuk mengikuti Uji Kompetensi Wartawan. Semakin banyak wartawan yang kompeten, semakin membuat pers jadi sehat dan masyarakat jadi tercerdaskan. Produk pers yang berkualitas tinggi tentu lahir dari tangan para wartawan yang kompeten dan profesional. Insya Allah, untuk peningkatan kapasitas seperti ini kami berada dalam posisi ikut mendorong.

Salah satu upaya kita dalam membina, mendorong pers dan wartawan yang profesional, adalah dengan melahirkan Peraturan Gubernur Nomor 30 tahun 2018 tentang Kerjasama Media Massa. Dalam Pergub tersebut, kita mengatur pola kerjasama dengan media dan kita tidak masuk kedalam ranahnya kebebasan pers. Contohnya saja, salah satu syarat kerjasama media dengan Pemprov Sumbar adalah; penanggungjawab atau Pimred media harus berkompetensi Wartawan Utama. Harus lolos seleksi minimal terverifikasi administratif, wartawan yang ditugaskan di Media Centre Humas harus telah UKW minimal wartawan muda. Dengan adanya aturan ini, walapun ada gejolak dari beberapa media, ternyata menjadi pecut bagi pers yang belum lengkap persyaratannya untuk segera mendaftarkan medianya ke dewan pers, akan ikut kompetensi dan bersegera mengurus badan hukum.

Mungkin ada yang menganggap bahwa Pergub Nomor 30 tahun 2018 merupakan upaya memberangus pers, padahal tidak ada sama sekali hubungannya dengan kebebasan pers. Tapi kami yakin mereka yang beranggapan seperti itu tidak memahami apa yang menjadi dasar tujuan dari lahirnya Pergub tersebut. Bahwa Pergub tersebut justru akan membuat perusahaan pers jadi terdorong untuk menatakelola perusahaannya dengan baik, melengkapi diri dengan berbagai hal yang diamanatkan oleh UU No 40 tahun 1999 serta mempekerjakan wartawan yang kompeten. Jadi sekali lagi tidak ada maksud dari lahirnya Pergub tersebut untuk membuat industri pers menjadi mati dan gulung tikar.

Kemitraan dengan organisasi kewartawanan sama halnya dengan kemitraan yang dilakukan dengan mass media atau perusahaan pers yakni dengan prinsip kesetaraan dan saling memberikan dukungan positif. Hal ini kami lakukan secara terus menerus tanpa berpikir menerima imbalan pujian atau penghargaan. Sehingga saya begitu kaget antara percaya atau tidak atas penghargaan atau anugerah Pena Emas yang akan diberikan pada saya selaku gubernur Sumatera Barat. Jika ini diberikan, jelas bahwa Pena Emas itu didekasikan untuk seluruh masyarakat Sumatera Barat. Penghargaan ini tentu bukan sesuatu yang datang tiba tiba: ada proses dan indikator yang dibuat oleh panitia dalam hal ini jajaran PWI, mulai daerah hingga pusat.

Buat saya, penghargaan Pena Emas bukanlah akhir atau puncak sebuah proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan insans pers. Tetapi ini mejadi cambuk bagi kita bersama, terutama di jajaran OPD untuk lebih meningkatkan kemitraan tersebut. Pers yang sehat adalah pers yang bisa berperan sebagaimana fungsinya dalam UU Pers, serta para wartawannya profesional dalam melaksanakan tugas tugas kewartawanan sesuai Kode Etik jurnalistik.

Pada kesempatan ini izinkan saya kembali menyampaikan penghargaan yang setinggi tingginya pada jajaran PWI pusat yang telah mempercayai Sumatera Barat sebagai tuan rumah HPN 2018 pada Februari lalu. Sebuah perhelatan besar yang tentunya memberikan nilai positif bagi Sumatra Barat dan menjadi kebanggaan insan insan pers Sumatra Barat setelah lama menunggu sebagai tuan rumah. Izinkan juga saya kembali menyampaikan permohonan maaf bila kami sebagai tuan rumah tidak dapat memberikan memberikan kepuasan pada tamu tamu kami yang jumlahnya ribuan orang tersebut.

PENINGKATAN KAPASITAS SDM PERS

Ke depan kita tentu sama sama bertekad kemitraan yang sudah terjalin baik dapat terus ditingkatkan. Tugas pemerintah daerah dalam pembinaan pers harus terus ditingkatan. Pemerintah akan terus mendorong insan insan pers serta perusahaan pers memenuhi standar standar yang telah disepakati dalam dunia pers dan patuh pada regulasi dan aturan yang berlaku di republik ini. Sebab pada akhirnya para wartawan yang profesional dan perusahaan pers yang sehat secara hukum dan bisnis yang mampu berkompetisi dalam persaingan media massa.

Teknologi mungkin tak tertahankan kemajuannya oleh kita, sehingga banyak infrastruktur media berubah luar biasa. Para pengelola media harus menyelaraskan dengan perkembangan teknologi terutama teknologi informasi. Dunia pers kertas secara perlahan mulai tergantikan oleh pers yang paperless berbasis IT. Bahkan sejumlah pekerjaan produksi mungkin saja akan tergantikan oleh mesin atau robot di masa datang. Tetapi saya yakin kontens atau cara menyusun kontens media yang berbasis penulisan dan pikiran, tentu tidak akan pernah tergantikan oleh mesin atau robot. Pekerjan itu masih saja akan dilakukan oleh manusia yang bernama wartawan itu.

Yang jadi soal tentu bagaimana agar dari waktu ke waktu kualitas tetap menjadi keunggulan dari produk media. Untuk itu para wartawan harus terus diasah dan tingkatkan kemampuan sumber daya manusia nya. Wartawan yang tidak profesional dikhawatirkan tidak hanya merugikan insan pers atau perusahaan tempat ia bekerja, tetapi juga merugikan daerah. Justru itu tugas kita bersama: organisasi kewartawanan, perusahaan pers dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas insan pers tersebut. Kegiatan atau proses jurnalistik sepertinya sederhana tetapi proses tersebut dapat dilakukan dengan baik apabila wartawannya memahami ilmu jurnalistik.

Menurut Haris Sumadiria (2005) jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas luasnya dengan secepat cepatnya. Saya menyadari benar, bahwa sejarah panjang pers nasional dimulai dari Ranah Minangkabau. Oleh karena itu, saya merasa bertanggung jawab untuk ikut memajukan pers daerah ini dan tentu saja pers nasional. Wartawan-wartawan hebat banyak lahir dari Ranah Minang, karena itu sebagai Gubernur saya merasa bahwa kehebatan itu hendaklah dapat bertahan selamanya dengan cara tetap mendorong pers daerah ini menempa dirinya terus menerus guna menjaga pers yang berkualitas itu.

Padang, 21 September 2018

Prof. Irwan Prayitno
Gubernur Sumatra Barat

(Disampaikan pada penganugerahan Penghargaan Pena Mas PWI di Padang)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here