Bonus Demografi Produktif

Oleh : Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo

2846

Sabtu 22 Juni lalu, jajaran Persit Kartika Jaya Korem 032 Wirabraja menyelenggarakan lomba cerdas cermat di lingkungan Yayasan Kartika Jaya. Acara ini sebenarnya sesuatu yang biasa, sekolah mengajak siswanya berlomba mempertontonkan kecerdasan berpikir. Indikator utama adalah adalah kecepatan dan ketepatan. Anak-anak sekolah ini sangat energik dan dinamis. Jiwa muda mereka menonjol, maklumlah mereka adalah orang-orang muda yang sebentar lagi akan menjadi penduduk produktif di negara ini.

Dari acara tersebut, saya membayangkan bahwa inilah calon-calon pemimpin bangsa ini. Inilah generasi yang sekarang sedang bergelut dengan berbagai dinamika jaman now, bahkan bisa dikatakan inilah potret bonus demografi yang sedang dialami oleh Indonesia. Melihat itu juga, setidaknya kita, dan saya khususnya, bisa berpikir bagaimana kondisi yang ada dan apa yang akan dan harusnya dilakukan di masa datang.

Sebagaimana diketahui, tahun 2019 ini, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia mencapai  266,91 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencapai 183,36 juta (68,7%). Atas dasar itu, Indonesia dikatakan sedang mendapatkan bonus demografi, yaitu kondisi jumlah penduduk usia produktif lebih tinggi dari usia non produktif. Hal ini berlangsung hampir di semua provinsi, termasuk Sumatera Barat yang jumlah penduduknya diprediksi mencapai 5,48 juta jiwa di 2019.

Dalam sejarah kependudukan, tidak semua negara mengalami bonus demografi, tidak semuanya juga berlangsung dalam waktu sama, dan tidak selalu ada. Indonesia sendiri diprediksi mengalami bonus demografi ini sampai tahun 2045, saat dimana jumlah lansia sudah bertambah banyak. Karena itu, memanfaatkan momentum mendapat bonus ini, usaha dan kerja maksimal harus dilakukan. Taruhannya tidak kecil, yaitu masa depan negara dan bangsa ini.

Apa keuntungan mendapat bonus demografi? Yang paling jelas adalah banyaknya sumber daya manusia (SDM) yang bisa dikelola, diandalkan, dijadikan sebagai pelaksana pembangunan bangsa. Kelompok usia produktif ini, jika dimaksimalkan akan menjadi senjata dahsyat yang mampu menentukan kehidupan bangsa di masa depan. Sebaliknya, jika salah dalam mengelola akan menjadikan penduduk produktif menjadi masalah dan beban bagi negara.

Apa yang tampak dalam lomba cerdas cermat tersebut setidaknya menunjukkan pada saya bahwa generasi-generasi sekarang adalah generasi yang berada pada garis tipis antara pemahaman tentang komitmen bernegara kesatuan dengan realitas negara tanpa batas (borderless state). Mereka berada pada godaan generasi X dengan komitmen sejarah berbangsa. Titik inilah yang krusial karena ibarat gelas, mereka merupakan wadah yang harus diisi dengan berbagai masukan yang menjadi bekal bagi kehidupan masa datang. Materi yang diisikan terhadap mereka inilah yang akan menentukan kualitas ke depannya.

Menciptakan generasi-generasi produktif, berkualitas, kreatif, namun tetap berpijak pada pondasi bangsa ini, itulah yang harus dilakukan. Berkaca pada Jepang, negara ini mengalami bonus demografi tahun 1950 lalu. Jepang berhasil mengelola bonus ini, hasilnya tampak sekarang, mereka kuat dari sisi kualitas SDM juga kuat terhadap budaya, sejarah, dan tradisi sebagai identitasnya. Jepang mampu menciptakan metode yang tepat, pendidikan/pengelolaan SDM dan penanaman nilai-nilai berbangsa. Mereka bisa bersaing ke luar tetapi tetap kuat ke dalam.

Lantas apa yang harus dilakukan. Kunci utama tentu pada lembaga pendidikan itu sendiri, dan siswa tentunya. Di samping memang unsur lain di luar sekolah yang juga ikut menentukan. Tetapi khusus untuk internal lembaga pendidikan, saya menekankan pada catatan khusus bahwa perlu metode-metode kreatif dan inovatif yang sifatnya mendorong siswa untuk terbuka dengan berbagai hal baru, tapi tidak lupa pada akarnya. Yayasan Kartika Jaya, dan juga intitusi lain tentunya, hanyalah bungkusnya. Isinya adalah kurikulum, para siswa, guru, dan komite sekolah. Saya tekankan, tak ada gunanya bungkus yang bagus jika isinya hanya mendorong orang untuk mengawang-awang, tidak membumi.

Misalnya, generasi muda Minangkabau, harus tahu dan paham dengan berbagai perkembangan terkini, tapi tak boleh lupa pada adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, konsepsi yang juga menjadi membentuk NKRI ini. Tak boleh lupa pada Alam Terkembang Jadi Guru, nilai kearifan lokal yang menjadi identitas Indonesia itu sendiri.
Harus dipahami bahwa generasi sekarang, bonus demografi ini adalah penentu kelangsungan NKRI ini. Borderless state, sesuatu yang khawatirkan dalam konteks bernegara, bisa jadi ancaman serius di masa datang. Oleh karena itu, menyiapkan generasi ini harus disandarkan pada karakter yang ingin dibangun.

Mendorong mereka agar menjadi pelaku-pelaku ekonomi kreatif bisa dilakukan, tapi pondasinya jangan dirubah. Sangat mengkhawatirkan jika generasi ini tidak bisa membedakan antara Burung Garuda dan Pancasila, misalnya, antar NKRI dengan semangat otonomi daerah, dan contoh-contoh lainnya. Boleh saja misalnya generasi ini menjadi jagoan dalam mengembangkan berbagai sistem online, bergelut di dunia maya, dan berhubungan dengan berbagai pihak di seantero dunia, tapi rumah sendiri tak boleh dilupakan.

Bonus demografi tak ada setiap waktu, bahkan cenderung hanya sekali, selanjutnya kita akan melihat dominasi para lansia. Manfaatkan masa muda untuk membangun kebanggaan berbangsa dan bernegara, jangan sia-siakan waktu yang ada. Ancaman dari luar selalu datang, tapi tidaklah tepat jika jalan dialih oleh orang lewat, atau bahkan kita sendiri yang menjualnya. (Penulis adalah Danrem 032 Wirabraja, Sumatera Barat)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here