Kenapa Pengusaha Tionghoa Berjaya di Dunia Bisnis Indonesia???

4414

JURNAL SUMBAR – Untuk menguasai ekonomi, maka dirikanlah Bank dan Lembaga Keuangan. Mochtar Riady dalam bukunya menyampaikan prinsip bank itu sebenarnya sederhana. Mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. Margin dari bunga kredit dan bunga debit itulah yang kemudian diatur sedemikian rupa oleh bank untuk mendapatkan keuntungan. Dalam kondisi normal bunga tabungan lebih kecil dibandingkan bunga kredit. Bunga tabungan selama 10 tahun tidak akan bisa mencapai 2 kali lipat dari dana pokok tabungan. Tetapi bunga kredit selama 10 tahun punya kemungkinan membengkak mendekati angka 2 kali dari nominal pinjaman awal.

Dengan kegiatan ekonomi “sederhana” itu, Bank bisa meraup keuntungan yang luar biasa. Bahkan data yang saya dapatkan keuntungan bersih BCA di tahun 2016 mengalahkan keuntungan bersih monopoli kegiatan ekonomi riil pengadaan listrik yang dilakukan oleh PLN. 20,6 triliyun rupiah berbanding PLN 10,5 triliyun rupiah.

BI menyebutkan, di tahun 2016 total kredit bank Rp 4.402 triliun. dua kali lipat dari total APBN kita yang hanya 2.000-an triliyun rupiah. Artinya, ketika pengusaha bisa mendapatkan alokasi kredit yang besar untuk melakukan ekspansi usaha, maka sesungguhnya ia bisa “mengalahkan” negara pada sisi-sisi tertentu. Saya melihat akses itu ada pada teman-teman etnis Tiongha. Apalagi sebagian besar Bank Swasta yang ada di Indonesia dimiliki oleh etnis yang sama.

Sebagai contoh. Di Yogyakarta sebagian besar usaha digital printing dimiliki oleh kawan-kawan etnis Tiongha. Untuk membuat sebuah usaha digital printing paling tidak harus menyiapkan dana awal 10 miliar. Belum lagi kalau ingin membeli mesin bagus berukuran raksasa yang harganya bisa di atas 60 miliar rupiah. Kebutuhan modal besar ini biasanya mengandalkan dana kredit bank. Kawan-kawan etnis Tiongha cenderung lebih berani untuk mengambil kredit bank lewat kalkulasi yang matang. Sehingga ekspansi bisnisnya bisa lebih besar dengan kekuatan modal dari perbankan.

Berbeda dengan pengusaha muslim. Mereka selalu “ditakut-takuti” oleh ustadz bahwa BUNGA KREDIT BANK ITU HARAM. BUNGA TABUNGAN DAN DEPOSITO ITU HARAM. BAGI YANG MELANGGAR SIAP-SIAPLAH MENDAPATKAN KAPLING DI NERAKA. Sementara, skenario bank syariah yang disebut-sebut sebagai solusi ANTI RIBA malah mematok margin pengembalikan kredit yang lebih besar dibandingkan suku bunga kredit bank konvensional. Mengumpulkan modal dari investasi teman-teman pun sulit. Ada faktor ketidakpercayaan yang sangat kronis karena ada trauma sengketa hutang-piutang dan faktor teman sesama muslim-pun berada pada kondisi finansial yang pas-pasan.

Keunggulan lainnya yang dimiliki oleh kawan-kawan etnis Tiongha Indonesia dalam bisnis adalah akses kepada produsen atau bahkan menjadi produsen itu sendiri. Membanjirnya produk China di Indonesia selain karena harga murah meriah juga didorong oleh adanya distributor alami yang dipegang oleh sesama etnis China. Pabrik-pabrik besar makanan, kertas dan rokok yang menjadi konsumsi paling besar harian orang Indonesia juga dimiliki oleh kawan-kawan etnis Tiongha.

Tetap melokalisir umat Islam pada bisnis UMKM yang paling banter hanya mendapatkan akses modal maksimal puluhan juta dari KUR, membuat umat harus berputar-putar menjadi pengusaha kecil-kecilan. Gencarnya ceramah ribanya bunga bank harus diiringi oleh kemampuan ormas Islam untuk menyediakan solusi praktis untuk penyediaan modal bagi ekonomi umat. Entah itu dengan mendirikan bank sendiri dengan prinsip “qardhul hasan” (pinjaman tanpa bunga) ataupun dengan membukakan akses untuk mendapatkan barang-barang dagangan dari distributor utama yang menguasai jalur distribusi barang di Indonesia.

1 KOMENTAR

  1. […]   Oleh: Anggun Gunawan (Praktisi Bisnis Perbukuan)   Untuk menguasai ekonomi, maka dirikanlah Bank dan Lembaga Keuangan. Mochtar Riady dalam bukunya menyampaikan prinsip bank itu sebenarnya sederhana. Mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. Margin dari bunga kredit dan bunga debit itulah yang kemudian diatur sedemikian rupa oleh bank untuk mendapatkan keuntungan. Dalam kondisi normal bunga tabungan lebih kecil dibandingkan bunga kredit. Bunga tabungan selama 10 tahun tidak akan bisa mencapai 2 kali lipat dari dana pokok tabungan. Tetapi bunga kredit selama 10 tahun punya kemungkinan membengkak mendekati angka 2 kali dari nominal pinjaman awal.   Dengan kegiatan ekonomi “sederhana” itu, Bank bisa meraup keuntungan yang luar biasa. Bahkan data yang saya dapatkan keuntungan bersih BCA di tahun 2016 mengalahkan keuntungan bersih monopoli kegiatan ekonomi riil pengadaan listrik yang dilakukan oleh PLN. 20,6 triliyun rupiah berbanding PLN 10,5 triliyun rupiah.   BI menyebutkan, di tahun 2016 total kredit bank Rp 4.402 triliun. dua kali lipat dari total APBN kita yang hanya 2.000-an triliyun rupiah. Artinya, ketika pengusaha bisa mendapatkan alokasi kredit yang besar untuk melakukan ekspansi usaha, maka sesungguhnya ia bisa “mengalahkan” negara pada sisi-sisi tertentu. Saya melihat akses itu ada pada teman-teman etnis Tiongha. Apalagi sebagian besar Bank Swasta yang ada di Indonesia dimiliki oleh etnis yang sama.   Sebagai contoh. Di Yogyakarta sebagian besar usaha digital printing dimiliki oleh kawan-kawan etnis Tiongha. Untuk membuat sebuah usaha digital printing paling tidak harus menyiapkan dana awal 10 miliar. Belum lagi kalau ingin membeli mesin bagus berukuran raksasa yang harganya bisa di atas 60 miliar rupiah. Kebutuhan modal besar ini biasanya mengandalkan dana kredit bank. Kawan-kawan etnis Tiongha cenderung lebih berani untuk mengambil kredit bank lewat kalkulasi yang matang. Sehingga ekspansi bisnisnya bisa lebih besar dengan kekuatan modal dari perbankan.   Berbeda dengan pengusaha muslim. Mereka selalu “ditakut-takuti” oleh ustadz bahwa BUNGA KREDIT BANK ITU HARAM. BUNGA TABUNGAN DAN DEPOSITO ITU HARAM. BAGI YANG MELANGGAR SIAP-SIAPLAH MENDAPATKAN KAPLING DI NERAKA. Sementara, skenario bank syariah yang disebut-sebut sebagai solusi ANTI RIBA malah mematok margin pengembalikan kredit yang lebih besar dibandingkan suku bunga kredit bank konvensional. Mengumpulkan modal dari investasi teman-teman pun sulit. Ada faktor ketidakpercayaan yang sangat kronis karena ada trauma sengketa hutang-piutang dan faktor teman sesama muslim-pun berada pada kondisi finansial yang pas-pasan.   Keunggulan lainnya yang dimiliki oleh kawan-kawan etnis Tiongha Indonesia dalam bisnis adalah akses kepada produsen atau bahkan menjadi produsen itu sendiri. Membanjirnya produk China di Indonesia selain karena harga murah meriah juga didorong oleh adanya distributor alami yang dipegang oleh sesama etnis China. Pabrik-pabrik besar makanan, kertas dan rokok yang menjadi konsumsi paling besar harian orang Indonesia juga dimiliki oleh kawan-kawan etnis Tiongha.   Tetap melokalisir umat Islam pada bisnis UMKM yang paling banter hanya mendapatkan akses modal maksimal puluhan juta dari KUR, membuat umat harus berputar-putar menjadi pengusaha kecil-kecilan. Gencarnya ceramah ribanya bunga bank harus diiringi oleh kemampuan ormas Islam untuk menyediakan solusi praktis untuk penyediaan modal bagi ekonomi umat. Entah itu dengan mendirikan bank sendiri dengan prinsip “qardhul hasan” (pinjaman tanpa bunga) ataupun dengan membukakan akses untuk mendapatkan barang-barang dagangan dari distributor utama yang menguasai jalur distribusi barang di Indonesia.   http://www.jurnalsumbar.com/2017/05/kenapa-pengusaha-tionghoa-berjaya-di-dunia-bisnis-indonesia/ […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here